Rabu, 21 Januari 2009

REVITALISASI PERAN MADRASAH DINIYAH

Upaya Memotret Perkembangan Madrasah Diniyah di Kabupaten Indramayu

Oleh : Hayat Ruhyat, S.Ag

Pendidik pada MDA Tarbiyatul Athfal Lunggadung


Akar kultural madrasah diniyah secara eksistensial tidak bisa dilepaskan dari pesantren, karena komunitas pedidik yang mengelola madrasah diniyah itu sendiri adalah mayoritas santri-santri lulusan pesantren yang mempraktekan apa yang diperoleh dan dipelajari dari model pendidikan pondok pesantren. Karenanya tidak berlebihan jika madrasah diniyah disebut sebagai sub-kultur pesantren karena peran madrasah diniyah dalam melestarikan nilai-nilai pendidikan keislaman dan tradisi-tradisi keagamaan dari pesantren terhadap kehidupan masyarakat muslim.

Secara historis agak sulit untuk melacak kapan mulai berdirinya madrasah diniyah sebagai sebuah institusi pendidikan di Indonesia ini. Kesulitan ini disebabkan karena langkanya referensi yang menjelaskan eksistensi madrasah diniyah dalam konstelasi perkembangan institusi-institusi pendidikan Islam. Tetapi kemunculan madrasah diniyah sebagai institusi pendidikan Islam merupakan perpanjangan tangan dari pondok pesantren (Islamic boarding school) dengan model kelembagaan dan kurikulum yang sedikit berbeda. Jika pondok pesantren didirikan oleh kyai dan karena motif pribadi dan dikelola berdasarkan kepemimpinan personal-kharismatik kyai dan keluarganya yang concern dengan pemberdayaan umat, sedangkan madrsah diniyah secara umum didirikan karena inisiatif dan kerja kolektif beberapa orang yang memiliki concern dan tujuan yang sama yaitu untuk menyelenggarakan pendidikan islam bagi masyarakat sekitarnya.

Secara sosiologis madrasah diniyah didirikan untuk memfasilitasi masyarakat yang hendak menyekolahkan anaknya agar mau mempelajari ilmu-ilmu keislaman dan berharap agar anaknya berperilaku dengan akhlak-al-karimah (akhlak mulia). Dan keunikan madrasah diniyah adalah proses pembelajarannya dilaksanakan di waktu sore hari dari sekitar pukul 14.00 s.d 17.00. Pemanfaatan waktu siang sampai dengan sore hari itu bukan tanpa alasan karena madrasah diniyah melayani pendidikan anak-anak yang dipagi harinya ber-sekolah formal. Sebagai institusi pendidikan islam kerakyatan, peran madrasah diniyah dalam proses internalisasi ajaran-ajaran islam dan tradisi-tradisi keagamaan dalam sebuah komunitas masyarakat muslim tidak dapat diabaikan begitu saja.

Madrasah diniyah memiliki signifikansi dalam melestarikan kontinuitas pendidikan islam dan nilai-nilai moral etis keislaman bagi masyarakat. Peran ini semakin tidak layak diabaikan ketika memperhatikan kuantitas madrasah diniyah yang sangat tidak sedikit.

Di kabupaten Indramayu sendiri, menurut data pemerintah, terdapat sekitar 800 madrasah diniyah dengan jumlah pendidik (ustadz) sebanyak 5.240 pada tahun 2005. Jumlah sebanyak itu menggugah pemerintah kabupaten Indramayu untuk serius memberdayakan madrasah diniyah dengan membuat kebijakan-kebijakan strategis yang mendorong peningkatan kualitas madrasah diniyah antara lain dengan membuat perda nomor 3 tahun 2003 yang, antar lain, mengaharuskan setiap siswa lulusan SD/MI yang hendak melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya untuk memiliki ijazah madrasah diniyah. Meskipun kemudian peraturan tersebut menjadi tidak efektif, karena lebih bersifat seperti “anjuran” yang tidak direspon secara serius oleh kepala-kepala sekolah SMP ataupun MTS, tetapi sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam memberdayakan madrasah diniyah, hal tersebut patut dihargai.

Geliat kuantitatif madrasah diniyah di kabupaten Indramayu sangat terasa ketika pemkab. Indramayu bersama dewan legislatif memasukan madrasah diniyah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada sektor pendidikan dari total sekira 36 % APBD untuk anggaran pendidikan. Tetapi alokasi anggaran untuk madrasah diniyah tersebut baru sebatas pemberian subsidi kesejahteraan bagi para ustadz madrasah diniyah dan belum memasukan bidang sarana prasarana dan operasional pendidikan sebagai komponen yang penting mendapatkan pembiayaan. Alasannya tentu masih bersifat klasik : sumber dana pemerintah kabupaten belum mencukupi untuk memberdayakan madrasah diniyah yang notebene seperti institusi pendidikan islam “kelas dua” secara maksimal, ditambah lagi dengan tidak adanya anggaran khusus dari pemerintah pusat untuk madrasah diniyah. Jangankan untuk membiayai madrasah diniyah, untuk membiayai sekolah-sekolah umum dilingkungan dinas pendidikanpun pemerintah masih kerepotan.

Realitas “keterabaian” madrasah diniyah di atas semestinya tidak bisa dijadikan alasan bagi para pengelola pendidikan madarasah diniyah untuk tidak serius dan kehilangan motivasi untuk meningkatkan kualitas madrasah diniyah. Bentuk kemandirian tersebut justru harus dijadikan alasan agar segenap pengelola pendidikan madrasah diniyah secara terus menerus dan kreatif menghidupkan dan mengembangkan kemampuan mencari dan memanfaatkan sumber dana dan sumber daya manusia (SDM) secara swadaya murni dari masyarakat dan pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan islam. Keterlibatan segenap lapisan masyarakat dalam proses pengembangan dan dinamisasi madrasah diniyah justru bisa menjadi nilai plus berupa rasa dan komitmen memiliki secara bersama yang pada akhirnya menguatkan public responsibility (tanggungjawab publik) terhadap madrasah diniyah.

Sayangnya madrasah diniyah yang bisa memenfaatkan nilai plus di atas masih bisa dihitung dengan jari. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh manajemen pengelolaan pendidikan madrasah diniyah yang terkesan masih konservatif dan asal jalan sehingga madrasah diniyah pada umumnya lebih mengedepankan filosofi “bagaimana bisa bertahan” bukan “bagaimana berinovasi” sehingga akhirnya madrasah diniyah menjadi stagnan. Atau dengan mafhum muwafaqah (pemahaman selaras) lain yaitu bahwa madasah diniyah lebih suka menjebakkan diri dalam jargon al-muhafazhotu ‘alal qodiimissholih ( melestarikan nilai-nilai lampau yang baik ) dan mengabaikan jargon wal akhdzu bil-jadiidil ashlah (mencari nilai-nilai baru yang lebih baik).

Kendala lain, dari segi kurikulum, adalah minimnya alokasi waktu yang tersedia, yaitu hanya sekitar 3 jam per-hari, untuk proses belajar mengajar. Tetapi kendala ini sebenarnya bisa diatasi jika para ustadz madrasah diniyah menguasai metodologi mengajar yang efektif dan efesien dalam menyampaikan materi ajarnya. Minimnya penguasaan metode mengajar para ustadz madrasah diniyah memang menjadi problem tersendiri. Ditambah lagi dengan “intervensi” Depertemen Agama dalam kurikulum berupa pembebanan beberapa mata pelajaran yang kurang perlu seperti SKI, Fiqih berbahasa Indonesia, Qur’an hadits dll karena sudah diajarkan pada sekolah pagi seperti MI dan pada mata pelajaran PAI di SD. Intervensi Depag tersebut pada gilirannya justru sedikit menggerus kekhasan kurikulum madrasah diniyah yang ala pesantren. Padahal peran Depag dianggap cukup dalam hal supervisi dan pembinaan manajerial dan administrasi madrasah diniyah saja dan biarkan pengelola madrasah diniyah membuat dan mengembangkan kurikulum sendiri yang lebih dibutuhkan dan disesuaikan dengan alokasi waktu pembelajaran yang relatif sedikit.Problem lain adalah minimnya ketersediaan media pembelajaran yang mendukung penerapan metode pengajaran seperti kelengkapan buku sumber, alat peraga dan lain-lain.

Last but not least, ikhtiar menjadikan madrasah diniyah sebagai institusi pendidikan islam yang bermutu danmaju memang masih harus menapaki jalan panjang. Dan pencapaian tujuan tersebut hanya bisa diejawantahkan dengan keseriusan dan motivasi tinggi para pengelola pendidikan madrasah diniyah untuk tidak melulu berharap dan bergantung kepada political will pemerintah, tetapi lebih focus untuk memberdayakan dirinya sendiri bersama dengan komunitas masyarakat lokal dimana madarsah diniyah itu eksis dibarengi dengan inovasi yang terus menerus dalam manajemen pengelolaan pendidikan yang berbasis sumber daya manusia. Dan tentu saja keikhlasan para pengelola pendidikan madrasah diniyah harus tetap menjadi basis inspirasi dan motivasi dalam mengembangkan madasah diniyah sebagai sub-kultur pesantren yang merakyat dan adaptif dengan perkembangan zaman.