Senin, 02 Februari 2009

Problematika Pesantren Salaf Masa Kini

Oleh KH Achmad Sadid Jauhari

Sangat bisa diterima sinyalemen bahwa pesantren adalah lembaga tertua di Nusantara, tapi masih sangat relevan untuk dipertahankan eksistensinya. Tetapi, situasi yang terus berkembang, maka tidak bisa tidak pesantren perlu modifikasi agar terus bisa dilihat manfaatnya untuk umat.

Pada masa lampau, jelas sekali peran pesantren dalam membentuk budaya bangsa, sehingga para alumninya sangat dirasakan manfaatnya di lingkungannya masing-masing, baik di tingkat lokal, regional bahkan nasional dan internasional.

Ilmu yang ditimba para alumni pesantren dari almamater pesantrennya masing-masing sangat cukup untuk bekal hidup bermasyarakat dan berjuang. Ini tentu ditunjang lebih tekunnya santri tempo dulu dan berkah para gurunya yang keikhlasan dan kedalaman ilmunya sangat mumpuni.

Suatu hal yang menakjubkan, bahwa umat Islam Nusantara yang terjajah selama 3,5 abad dan selalu kalah dalam pertikaian politik serta kekuasaan, tapi masih bisa mengembangkan dakwah Islamiyah-nya sehingga sensus penduduk menjadi mayoritas muslim dan transaksi dalam kehidupan masyarakat, baik ekonomi atau nonekonomi, juga sangat dipengaruhi teori fikih Islami. Ini tidak lepas dari perjuangan pesantren yang bertebaran di pelosok Tanah Air.

Kelompok santri memang kalah dalam perebutan kekuasaan dan politik, tapi masih berjaya dalam budaya. Konon, disebutkan bahwa ketika kolonial datang di Nusantara, penduduk muslim masih 20 persen. Tetapi, justru ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, umat Islam meningkat menjadi 95 persen. Ironisnya justru ketika kita sudah merdeka, umat Islam menerima tekanan-tekanan dari budaya, ekonomi, juga politik, sehingga populasinya mengalami degradasi. Dari sinilah pesantren harus intropeksi diri sendiri agar misi pendidikan, sosial dan dakwahnya tetap eksis.

Problematika Kurikulum

Kurikulum pesantren salaf yang cenderung berkiblat ke model pendidikan ribath di Hadramaut ini bisa kita maklumi karena para dai pertama di Jawa memang berasal dari sana. Yang mencolok adalah penekanannya dalam bidang fikih yang sudah jadi dan tasawuf serta ilmu alat. Barangkali inilah yang memunculkan predikat pesantren salaf. Kemudian, predikat pesantren salaf didikotomikan dengan pesantren modern. Walaupun pada awalnya dikotomi itu juga rancu. Sebab, ada pesantren yang mengklaim dirinya modern dengan kurikulumnya yang berbeda dengan pesantren salaf, yaitu penekanan pada bahasa Arab/Inggris dan tidak mau fikih. Tetapi, (dulu) tidak mau memasukkan pendidikan formal (sekolah berafiliasi Departemen Pendidikan Nasional/Departemen Agama). Sementara, ada pesantren yang masih mangaku salafiyah, tapi malah sudah mendahului mengadopsi sekolah formal mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berafiliasi ke Depdiknas maupun Depag.

Untuk saat ini, pesantren modern itu bisa dilihat hasilnya dengan menempatkan banyak kader alumninya di panggung karier dan politik tingkat nasional. Hal ini mungkin ditunjang kemampuan komunikasinya yang berbahasa Arab dan Inggris tersebut, walaupun dari sisi ketangguhan dalam bidang fikih belum memadai dibanding alumni pesantren salaf. Ini bisa dilihat dari forum bahsul masail yang nampak didominasi ahumni pesantren salaf yang biasanya lebih lokal.

Bila mendikotomikan kurikulum salaf (bila dipahami sebagai kurikulum agama) dengan kurikulum umum, juga masih ada sisa pertanyaan di sana. Sebab, sebenarnya pelajaran agama itu hanyalah Al-Quran, hadits, akidah, syariah dan pendukungnya. Sementara, nahwu, shorof, balaghoh (sastra Arab), manthiq, 'arudl, falak dan lain-lain, bukan ilmu agama. Sebab, mata pelajaran seperti itu juga diajarkan di sekolah-sekolah umum di Timur Tengah. Tetapi, karena di sini ditulis Arab dan dengan bahasa Arab, maka dianggap pelajaran agama.

Dengan bekal pengetahuan umum yang ditulis Arab itulah barang kali para alumni pesantren salaf dulu sangat bisa berkiprah di lingkungannya. Tetapi, setelah Indonesia ini merdeka dan bahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf latin menjadi bahasa resmi negara, ditambah bahasa asing selain bahasa Arab, terutama bahasa Inggris, sangat berpengaruh di lingkungan ilmiah di negara ini. Maka, mau tidak mau, kita rasakan bahwa itu sangat berdampak bagi menyempitnya ruang gerak kiprah alumni pesantren salaf di masyarakat. Apalagi setelah munculnya peraturan pemerintah dan undang-undang, khususnya Undang-undang Dosen dan Guru, sangat memukul bagi kiprah pengabdian alumni pesantren salaf di bidang pendidikan formal.

Barangkali berangkat dari sinilah Depag harus menyiasati dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 untuk menolong kiprah para alumni pesantren salaf agar ruang gerak pengabdiannya di masyarakat lebih leluasa. Intinya, diupayakan agar bagaimana alumni pesantren salaf itu memperoleh penyetaraan dengan sekolah formal dalam dampak masyarakat sipil. Untuk itu, memang diperlukan standar kurikulum nasional di pesantren salaf ditambah beberapa mata pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini.

Problematika Kualitas dan Kuantitas Pesantren Salaf

Hal yang sangat memprihatinkan di kalangan pesantren salaf adalah degradasi kualitas pendidikannya. Sebab, kualitas ilmu kiai dan para ustaznya juga banyak yang menurun. Belum sisi lain yang lebih kita kenal sebagai "berkah", juga sangat berkurang karena kadar kualitas keikhlasan kiai dan para ustadznya juga merosot. Apalagi bila pesantren salaf itu berganti ‘kelamin’ menjadi pesantren formal. Secara umum, jelas sekali degradasi kualitas kemampuan kitab kuningnya, bahkan juga sampai ke budaya para santri yang masih menetap di pesantren itu juga ikut berubah.

Inilah tantangan berat bagi pengasuh pesantren salaf, khususnya yang sudah mengalami regenerasi. Turunnya kualitas kiai dan para ustaz akhirnya juga berdampak merosotnya kuantitas santri. Seringkali ada kebijakan jalan pintas untuk mempertahankan eksistensi pesantren tersebut, dengan berganti ‘kelamin’ tadi (dari pesantren salaf ke pesantren formal).

Tetapi, sekarang secara umum sangat dirasakan kemerosotan kuantitas pesantren salaf, juga pesantren formal di mana-mana. Ada yang mencoba melaksanakan penelitian dalam kasus ini. Akhirnya menyimpulkan beberapa penyebab, di antaranya, sebagai berikut:

  1. Banyaknya alumni pesantren yang mendirikan pesantren sendiri-sendiri;
  2. Tekanan ekonomi bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sementara, animo pesantren yang banyak dari kalangan tersebut;
  3. Lembaga pesantren dulu dinilai sebagai lembaga pendidikan termurah. Tetapi, setelah adanya dana Biaya Operasional Sekolah bagi lembaga pendidikan formal, maka pesantren terkesan lebih mahal;
  4. Bagi pesantren yang sudah mengalami regenerasi, umumnya kualitas pengasuhnya mengalami kemunduran, baik dari sisi keilmuan maupun keikhlasan;
  5. Banyak alumni pesantren masa kini yang kurang kuat terhadap godaan duniawi, sehingga kurang bisa mencerminkan akhlak yang baik yang merupakan target utama produk pesantren;
  6. Keterlibatan para kiai dalam panggung politik praktis yang sering kali menimbulkan kesimpulan berbeda dari hasil ijtihad siyasiy mereka. Sehingga menyebabkan sebagian umat ada yang berburuk sangka dan tidak simpati lagi;
  7. Dan, memang barang kali sudah menjadi suratan Ilahi sebagaimana yang disabdakan Rasulullah bahwa agama ini “asing” dan akan kembali “asing”.

Penulis adalah Wakil Katib Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

di kutip dari web site NU

MADRASAH DINIYAH : Institusi Pendidikan yang Eksis dalam Kondisi serba Minimalis

Oleh : Hayat Ruhyat, S.Ag

Pengajar pada Madrasah Diniyah Tarbiyatul Athfal Lunggadung Cikedung

Tulisan I

Judul di atas sekilas bernada miris, sinis, pesimis dan ironis. Karena kata minimalis bermakna serba kekurangan, apa adanya, kurang optimal dan makna-makna lain yang muradif .Dan ketika kita mengamati perkembangan madrasah diniyah sebagai sebuah institusi pendidikan mungkin sangat sulit bagi kita untuk tidak mengakuinya sebagai sebuah realitas umum (major reality) dalam konteks dinamika pendidikan keagamaan pada beberapa daerah di republik bernama Indonesia.

Hal-hal minimalis yang dialami madrasah diniyah antara lain dalam bentuk sumber dana yang minim, alokasi waktu yang minim, kesejahteraan pendidik yang minim, aspek manajerial yang minim, perhatian pemerintah yang minim, penguasaan metodologi pengajaran yang minim, sarana prasarana yang minim dan hal-hal lain yang serba minim.

Tetapi yang memunculkan rasa takjub adalah meskipun madrasah diniyah dikelola dalam keadaan serba minimalis namun masih tetap eksis melayani pendidikan keagamaan bagi masyarakat dimana madrasah itu berada. Tidak seperti sekolah-sekolah dasar milik pemerintah yang banyak mengalami fenomena gulung tikar dalam bentuk merger karena kurang diminati oleh masyarakat, kita justru hampir tidak mendengar adanya madrasah diniyah yang bangkrut karena minimnya masyarakat menyekolahkan anaknya. Seperti ada inner power yang membuat madrasah diniyah tetap eksis di tengah arus modernisasi yang begitu deras hendak menggerus nilai-nilai tradisi dalam berbagai ranah kehidupan sosial budaya.

Menurut penulis setidaknya ada tiga hal yang membuat madrasah mampu eksis hingga kini. Pertama karena madrasah diniyah lazimnya dikelola dengan spirit tanpa pamrih oleh para pendidiknya (asatidz). Spirit inilah yang menjadi motivasi utama para asatidz untuk selalu tidak merasa lelah memberikan dedikasi dalam mencerdaskan masyarakat, melakukan transfer nilai-nilai keislaman dan mengembangkan karakter anak-anak didiknya melalui madrasah diniyah. Karena spirit inilah problem kecilnya kesejahteraan atau upah mengajar tidak menjadi hambatan bagi asatidz untuk tetap melaksanakan tugasnya memberikan layanan pendidikan. Kedua, adanya kultur yang kuat dalam masyarakat dimana madrasah diniyah itu eksis bahwa pendidikan agama adalah sesuatu yang sangat urgen dan esensial baik bagi kehidupan dirinya terutama anak-anaknya yang hidup dalam situasi dan kondisi zaman yang jauh berubah dan rentan dengan problematika amoral. Pendidikan agama masih diyakini menjadi kekuatan yang ampuh untuk membekali anak-anak untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan asusila yang kini semakin memprihatinkan. Inilah yang mendorong masyarakat untuk tetap menjadikan madrasah diniyah sebagai tempat pendidikan agama bagi anak-anaknya Dan ketiga independensi yang dimiliki oleh madrasah diniyah untuk menyelenggarakan manajemen dan kegiatan pembelajarannya secara bebas kreatif tanpa terbentur aturan-aturan prosedural birokratis yang seringkali menyulitkan.

Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah sampai kapan madrasah diniyah mampu eksis dengan kondisi serba minimalis?

Inilah yang harus dijawab dan menjadi keprihatinan serta perhatian bersama oleh semua stake holders madrasah diniyah agar madrasah diniyah tidak hanya eksis dengan kondisi apa adanya tetapi dinamis dan lebih kreatif sehingga lebih dapat menyelenggarakan kegiatan pendidikannya secara lebih optimal dan kontekstual. Ketiga potensi aktual di atas seharusnya menjadi internal power dan eksternal power yang menjadi modal moril utama bagi madrasah diniyah untuk lebih serius dan optimis melakukan inovasi-inovasi baru dalam mengembangkan sumber dana dan sumber daya manusianya ke depan.

Menjawab beberapa problem madrasah diniyah

1. Anggaran pendidikan yang minimalis

Sebagai madrasah swasta ( private islamic school ), madrasah diniyah membiayai semua kegiatan operasional pendidikan dan pengadaan sarana prasarananya dengan sumber dana yang berasal dari swadaya masyarakat dalam bentuk syahriyah (iuran bulanan), zakat, infaq dan shodaqoh. Di beberapa daerah yang memiliki kebijakan sedikit memihak madrasah diniyah ada insentif atau tunjangan bulanan yang khusus diberikan kepada para pengajar (asatidz) madrasah diniyah meski jumlahnya tidak sepadan dengan tingkat kebutuhan hidup.

Karena sumber dana madrasah diniyah banyak bergantung kepada sumbangan murni masyarakat maka tingkat sosial ekonomi masyarakat dimana madrasah diniyah itu eksis secara langsung sangat berpengaruh kepada tingkat pemasukan dana yang diperoleh. Di beberapa pedesaan yang notebene tingkat sosial ekonomi masyarakatnya pas-pasan maka kontribusi dana yang diberikan kepada madrasah diniyahpun menjadi ikut pas-pasan. Dan kondisi inilah yang hampir dialami oleh mayoritas madrasah diniyah. Sedangkan pada masyarakat yang tingkat sosial ekonominya sangat baik, dan biasanya di perkotaan, maka biasanya kita bisa menemukan kondisi fisik madrasah diniyah yang cukup representative dan tingkat kesejahteraan para pengajaranya yang cukup baik, meski itupun tidak menjadi jaminan bergantung kepada kemampuan stake holders madrasah diniyahnya untuk menyedot potensi dana dari masyarakat.

Bagi madrasah diniyah yang memiliki anggaran pas-pasan mungkin alternatif yang bisa dilakukan adalah harus pandai-pandai mencari donatur luar sehingga tidak melulu mengandalkan uluran tangan dari masyarakatnya sendiri. Dan ini dibutuhkan kreatifitas ekstra serta jaringan sosial yang cukup bagus dan kuat yang harus dilakukan oleh pimpinan madrasah. Jika ada kreatifitas yang tak pernah lelah dan mengenyahkan rasa malu demi membangun madrasah diniyah yang dipimpinnya maka problem anggaran madrasah diniyah yang minimalis akan sedikit tereliminir. ( bersambung ke Tulisan II )

Madrasah Diniyah Akan Disesuaikan dengan Kurikulum Nasional

Kurikulum pendidikan madrasah diniyah akan disesuaikan dengan kurikulum nasional. Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia Nahdlatul Ulama atau Rabitah Ma'ahad Islamiyah (RMI) yang juga membawahi madrasah diniyah dari seluruh tingkatan, menjanjikan penyesuaian itu akan selesai pada pada 2009 mendatang.

Penyesuaian itu dilakukan sebagai upaya menyelaraskan pola pendidikan di madrasah diniyah dengan sistem pendidikan nasional. Sebab, selama ini, lulusan madrasah diniyah masih belum mendapat pengakuan dari pemerintah, terutama oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

“Ketika akan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, para lulusan madrasah diniyah tidak diakui. Selain karena faktor kurikulum yang dinilai tidak match (sesuai) dengan sekolah-sekolah umum,” kata Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat RMI, Hamid Syarif, di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (3/12).

Namun demikian, muatan kurikulum agama di madrasah diniyah tetap diutamakan dan tidak akan mengalami perubahan. 'Kita hanya akan mengadopsi materi-materi pelajaran yang masuk dalam Ujian Nasional, selebihnya, pelajaran seperti nahwu, sharaf, fikih dan lainnya tetap berjalan,'' imbuhnya seperti dilaporkan Kontributor NU Online, Maulana Lana.

Penyesuaian kurikulum itu akan dilakukan pada madrasah diniyah di semua tingkatan: ula (awal), wusto (menangah), hingga ala (atas). Selain itu, akan dilakukan penataan struktur organisasai madrasah diniyah, terutama yang ada di pesantren-pesantren. Sebab, selama ini struktur tersebut belum tertata rapi.

''Rancanganya sudah kami ajukan ke Direktorat Jenderal Pendidikan di Departemen Agama. Kalau itu sudah beres, maka 2009 mendatang, lulusan madrasah diniyah bebas menentukan sekolah lanjutan,'' kata Hamid yang juga Pembantu Rektor III Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, itu.

Hamid juga mengatakan, dalam waktu dekat akan ada pertemuan guru-guru madrasah diniyah untuk membahas masalah ini. ''Saya sudah keliling pesantren di Jawa Timur dan rata-rata para guru ini cukup antusias. Maka, kalau rencana di Jatim sukses, bisa dijadikan percontohan untuk provinsi lain,'' katanya.

Menurutnya, gagasan untuk memperjuangkan pengakuan terhadap kelulusan madrasah diniyah itu sebagai jawaban atas merebaknya sekolah-sekolah umum yang mengadopsi kurikulum madrasah diniyah selama ini. Dia menyebutkan, beberapa sekolah yang pada awal pembukaanya berstatus sekolah umum, belakangan berkembang menjadi sekolah full day school dengan muatan pendidikan agama di dalamnya.

''Kita berharap, madrasah diniyah bisa menjawab tantangan merebaknya full day school yang dinilai memberatkan para siswa. Sebab, dengan mengikuti pendidikan di lembaga seperti itu, tenaga dan pikiran siswa terkuras habis. Sementara, kalau konsepnya madin, kan, sudah sejak lama ada, dan waktunya juga fleksibel,'' ujarnya. (rif)

di kutip dari wbsite NU,Kamis, 4 Desember 2008 15:12

Rabu, 21 Januari 2009

REVITALISASI PERAN MADRASAH DINIYAH

Upaya Memotret Perkembangan Madrasah Diniyah di Kabupaten Indramayu

Oleh : Hayat Ruhyat, S.Ag

Pendidik pada MDA Tarbiyatul Athfal Lunggadung


Akar kultural madrasah diniyah secara eksistensial tidak bisa dilepaskan dari pesantren, karena komunitas pedidik yang mengelola madrasah diniyah itu sendiri adalah mayoritas santri-santri lulusan pesantren yang mempraktekan apa yang diperoleh dan dipelajari dari model pendidikan pondok pesantren. Karenanya tidak berlebihan jika madrasah diniyah disebut sebagai sub-kultur pesantren karena peran madrasah diniyah dalam melestarikan nilai-nilai pendidikan keislaman dan tradisi-tradisi keagamaan dari pesantren terhadap kehidupan masyarakat muslim.

Secara historis agak sulit untuk melacak kapan mulai berdirinya madrasah diniyah sebagai sebuah institusi pendidikan di Indonesia ini. Kesulitan ini disebabkan karena langkanya referensi yang menjelaskan eksistensi madrasah diniyah dalam konstelasi perkembangan institusi-institusi pendidikan Islam. Tetapi kemunculan madrasah diniyah sebagai institusi pendidikan Islam merupakan perpanjangan tangan dari pondok pesantren (Islamic boarding school) dengan model kelembagaan dan kurikulum yang sedikit berbeda. Jika pondok pesantren didirikan oleh kyai dan karena motif pribadi dan dikelola berdasarkan kepemimpinan personal-kharismatik kyai dan keluarganya yang concern dengan pemberdayaan umat, sedangkan madrsah diniyah secara umum didirikan karena inisiatif dan kerja kolektif beberapa orang yang memiliki concern dan tujuan yang sama yaitu untuk menyelenggarakan pendidikan islam bagi masyarakat sekitarnya.

Secara sosiologis madrasah diniyah didirikan untuk memfasilitasi masyarakat yang hendak menyekolahkan anaknya agar mau mempelajari ilmu-ilmu keislaman dan berharap agar anaknya berperilaku dengan akhlak-al-karimah (akhlak mulia). Dan keunikan madrasah diniyah adalah proses pembelajarannya dilaksanakan di waktu sore hari dari sekitar pukul 14.00 s.d 17.00. Pemanfaatan waktu siang sampai dengan sore hari itu bukan tanpa alasan karena madrasah diniyah melayani pendidikan anak-anak yang dipagi harinya ber-sekolah formal. Sebagai institusi pendidikan islam kerakyatan, peran madrasah diniyah dalam proses internalisasi ajaran-ajaran islam dan tradisi-tradisi keagamaan dalam sebuah komunitas masyarakat muslim tidak dapat diabaikan begitu saja.

Madrasah diniyah memiliki signifikansi dalam melestarikan kontinuitas pendidikan islam dan nilai-nilai moral etis keislaman bagi masyarakat. Peran ini semakin tidak layak diabaikan ketika memperhatikan kuantitas madrasah diniyah yang sangat tidak sedikit.

Di kabupaten Indramayu sendiri, menurut data pemerintah, terdapat sekitar 800 madrasah diniyah dengan jumlah pendidik (ustadz) sebanyak 5.240 pada tahun 2005. Jumlah sebanyak itu menggugah pemerintah kabupaten Indramayu untuk serius memberdayakan madrasah diniyah dengan membuat kebijakan-kebijakan strategis yang mendorong peningkatan kualitas madrasah diniyah antara lain dengan membuat perda nomor 3 tahun 2003 yang, antar lain, mengaharuskan setiap siswa lulusan SD/MI yang hendak melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya untuk memiliki ijazah madrasah diniyah. Meskipun kemudian peraturan tersebut menjadi tidak efektif, karena lebih bersifat seperti “anjuran” yang tidak direspon secara serius oleh kepala-kepala sekolah SMP ataupun MTS, tetapi sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam memberdayakan madrasah diniyah, hal tersebut patut dihargai.

Geliat kuantitatif madrasah diniyah di kabupaten Indramayu sangat terasa ketika pemkab. Indramayu bersama dewan legislatif memasukan madrasah diniyah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada sektor pendidikan dari total sekira 36 % APBD untuk anggaran pendidikan. Tetapi alokasi anggaran untuk madrasah diniyah tersebut baru sebatas pemberian subsidi kesejahteraan bagi para ustadz madrasah diniyah dan belum memasukan bidang sarana prasarana dan operasional pendidikan sebagai komponen yang penting mendapatkan pembiayaan. Alasannya tentu masih bersifat klasik : sumber dana pemerintah kabupaten belum mencukupi untuk memberdayakan madrasah diniyah yang notebene seperti institusi pendidikan islam “kelas dua” secara maksimal, ditambah lagi dengan tidak adanya anggaran khusus dari pemerintah pusat untuk madrasah diniyah. Jangankan untuk membiayai madrasah diniyah, untuk membiayai sekolah-sekolah umum dilingkungan dinas pendidikanpun pemerintah masih kerepotan.

Realitas “keterabaian” madrasah diniyah di atas semestinya tidak bisa dijadikan alasan bagi para pengelola pendidikan madarasah diniyah untuk tidak serius dan kehilangan motivasi untuk meningkatkan kualitas madrasah diniyah. Bentuk kemandirian tersebut justru harus dijadikan alasan agar segenap pengelola pendidikan madrasah diniyah secara terus menerus dan kreatif menghidupkan dan mengembangkan kemampuan mencari dan memanfaatkan sumber dana dan sumber daya manusia (SDM) secara swadaya murni dari masyarakat dan pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan islam. Keterlibatan segenap lapisan masyarakat dalam proses pengembangan dan dinamisasi madrasah diniyah justru bisa menjadi nilai plus berupa rasa dan komitmen memiliki secara bersama yang pada akhirnya menguatkan public responsibility (tanggungjawab publik) terhadap madrasah diniyah.

Sayangnya madrasah diniyah yang bisa memenfaatkan nilai plus di atas masih bisa dihitung dengan jari. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh manajemen pengelolaan pendidikan madrasah diniyah yang terkesan masih konservatif dan asal jalan sehingga madrasah diniyah pada umumnya lebih mengedepankan filosofi “bagaimana bisa bertahan” bukan “bagaimana berinovasi” sehingga akhirnya madrasah diniyah menjadi stagnan. Atau dengan mafhum muwafaqah (pemahaman selaras) lain yaitu bahwa madasah diniyah lebih suka menjebakkan diri dalam jargon al-muhafazhotu ‘alal qodiimissholih ( melestarikan nilai-nilai lampau yang baik ) dan mengabaikan jargon wal akhdzu bil-jadiidil ashlah (mencari nilai-nilai baru yang lebih baik).

Kendala lain, dari segi kurikulum, adalah minimnya alokasi waktu yang tersedia, yaitu hanya sekitar 3 jam per-hari, untuk proses belajar mengajar. Tetapi kendala ini sebenarnya bisa diatasi jika para ustadz madrasah diniyah menguasai metodologi mengajar yang efektif dan efesien dalam menyampaikan materi ajarnya. Minimnya penguasaan metode mengajar para ustadz madrasah diniyah memang menjadi problem tersendiri. Ditambah lagi dengan “intervensi” Depertemen Agama dalam kurikulum berupa pembebanan beberapa mata pelajaran yang kurang perlu seperti SKI, Fiqih berbahasa Indonesia, Qur’an hadits dll karena sudah diajarkan pada sekolah pagi seperti MI dan pada mata pelajaran PAI di SD. Intervensi Depag tersebut pada gilirannya justru sedikit menggerus kekhasan kurikulum madrasah diniyah yang ala pesantren. Padahal peran Depag dianggap cukup dalam hal supervisi dan pembinaan manajerial dan administrasi madrasah diniyah saja dan biarkan pengelola madrasah diniyah membuat dan mengembangkan kurikulum sendiri yang lebih dibutuhkan dan disesuaikan dengan alokasi waktu pembelajaran yang relatif sedikit.Problem lain adalah minimnya ketersediaan media pembelajaran yang mendukung penerapan metode pengajaran seperti kelengkapan buku sumber, alat peraga dan lain-lain.

Last but not least, ikhtiar menjadikan madrasah diniyah sebagai institusi pendidikan islam yang bermutu danmaju memang masih harus menapaki jalan panjang. Dan pencapaian tujuan tersebut hanya bisa diejawantahkan dengan keseriusan dan motivasi tinggi para pengelola pendidikan madrasah diniyah untuk tidak melulu berharap dan bergantung kepada political will pemerintah, tetapi lebih focus untuk memberdayakan dirinya sendiri bersama dengan komunitas masyarakat lokal dimana madarsah diniyah itu eksis dibarengi dengan inovasi yang terus menerus dalam manajemen pengelolaan pendidikan yang berbasis sumber daya manusia. Dan tentu saja keikhlasan para pengelola pendidikan madrasah diniyah harus tetap menjadi basis inspirasi dan motivasi dalam mengembangkan madasah diniyah sebagai sub-kultur pesantren yang merakyat dan adaptif dengan perkembangan zaman.