Senin, 02 Februari 2009

MADRASAH DINIYAH : Institusi Pendidikan yang Eksis dalam Kondisi serba Minimalis

Oleh : Hayat Ruhyat, S.Ag

Pengajar pada Madrasah Diniyah Tarbiyatul Athfal Lunggadung Cikedung

Tulisan I

Judul di atas sekilas bernada miris, sinis, pesimis dan ironis. Karena kata minimalis bermakna serba kekurangan, apa adanya, kurang optimal dan makna-makna lain yang muradif .Dan ketika kita mengamati perkembangan madrasah diniyah sebagai sebuah institusi pendidikan mungkin sangat sulit bagi kita untuk tidak mengakuinya sebagai sebuah realitas umum (major reality) dalam konteks dinamika pendidikan keagamaan pada beberapa daerah di republik bernama Indonesia.

Hal-hal minimalis yang dialami madrasah diniyah antara lain dalam bentuk sumber dana yang minim, alokasi waktu yang minim, kesejahteraan pendidik yang minim, aspek manajerial yang minim, perhatian pemerintah yang minim, penguasaan metodologi pengajaran yang minim, sarana prasarana yang minim dan hal-hal lain yang serba minim.

Tetapi yang memunculkan rasa takjub adalah meskipun madrasah diniyah dikelola dalam keadaan serba minimalis namun masih tetap eksis melayani pendidikan keagamaan bagi masyarakat dimana madrasah itu berada. Tidak seperti sekolah-sekolah dasar milik pemerintah yang banyak mengalami fenomena gulung tikar dalam bentuk merger karena kurang diminati oleh masyarakat, kita justru hampir tidak mendengar adanya madrasah diniyah yang bangkrut karena minimnya masyarakat menyekolahkan anaknya. Seperti ada inner power yang membuat madrasah diniyah tetap eksis di tengah arus modernisasi yang begitu deras hendak menggerus nilai-nilai tradisi dalam berbagai ranah kehidupan sosial budaya.

Menurut penulis setidaknya ada tiga hal yang membuat madrasah mampu eksis hingga kini. Pertama karena madrasah diniyah lazimnya dikelola dengan spirit tanpa pamrih oleh para pendidiknya (asatidz). Spirit inilah yang menjadi motivasi utama para asatidz untuk selalu tidak merasa lelah memberikan dedikasi dalam mencerdaskan masyarakat, melakukan transfer nilai-nilai keislaman dan mengembangkan karakter anak-anak didiknya melalui madrasah diniyah. Karena spirit inilah problem kecilnya kesejahteraan atau upah mengajar tidak menjadi hambatan bagi asatidz untuk tetap melaksanakan tugasnya memberikan layanan pendidikan. Kedua, adanya kultur yang kuat dalam masyarakat dimana madrasah diniyah itu eksis bahwa pendidikan agama adalah sesuatu yang sangat urgen dan esensial baik bagi kehidupan dirinya terutama anak-anaknya yang hidup dalam situasi dan kondisi zaman yang jauh berubah dan rentan dengan problematika amoral. Pendidikan agama masih diyakini menjadi kekuatan yang ampuh untuk membekali anak-anak untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan asusila yang kini semakin memprihatinkan. Inilah yang mendorong masyarakat untuk tetap menjadikan madrasah diniyah sebagai tempat pendidikan agama bagi anak-anaknya Dan ketiga independensi yang dimiliki oleh madrasah diniyah untuk menyelenggarakan manajemen dan kegiatan pembelajarannya secara bebas kreatif tanpa terbentur aturan-aturan prosedural birokratis yang seringkali menyulitkan.

Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah sampai kapan madrasah diniyah mampu eksis dengan kondisi serba minimalis?

Inilah yang harus dijawab dan menjadi keprihatinan serta perhatian bersama oleh semua stake holders madrasah diniyah agar madrasah diniyah tidak hanya eksis dengan kondisi apa adanya tetapi dinamis dan lebih kreatif sehingga lebih dapat menyelenggarakan kegiatan pendidikannya secara lebih optimal dan kontekstual. Ketiga potensi aktual di atas seharusnya menjadi internal power dan eksternal power yang menjadi modal moril utama bagi madrasah diniyah untuk lebih serius dan optimis melakukan inovasi-inovasi baru dalam mengembangkan sumber dana dan sumber daya manusianya ke depan.

Menjawab beberapa problem madrasah diniyah

1. Anggaran pendidikan yang minimalis

Sebagai madrasah swasta ( private islamic school ), madrasah diniyah membiayai semua kegiatan operasional pendidikan dan pengadaan sarana prasarananya dengan sumber dana yang berasal dari swadaya masyarakat dalam bentuk syahriyah (iuran bulanan), zakat, infaq dan shodaqoh. Di beberapa daerah yang memiliki kebijakan sedikit memihak madrasah diniyah ada insentif atau tunjangan bulanan yang khusus diberikan kepada para pengajar (asatidz) madrasah diniyah meski jumlahnya tidak sepadan dengan tingkat kebutuhan hidup.

Karena sumber dana madrasah diniyah banyak bergantung kepada sumbangan murni masyarakat maka tingkat sosial ekonomi masyarakat dimana madrasah diniyah itu eksis secara langsung sangat berpengaruh kepada tingkat pemasukan dana yang diperoleh. Di beberapa pedesaan yang notebene tingkat sosial ekonomi masyarakatnya pas-pasan maka kontribusi dana yang diberikan kepada madrasah diniyahpun menjadi ikut pas-pasan. Dan kondisi inilah yang hampir dialami oleh mayoritas madrasah diniyah. Sedangkan pada masyarakat yang tingkat sosial ekonominya sangat baik, dan biasanya di perkotaan, maka biasanya kita bisa menemukan kondisi fisik madrasah diniyah yang cukup representative dan tingkat kesejahteraan para pengajaranya yang cukup baik, meski itupun tidak menjadi jaminan bergantung kepada kemampuan stake holders madrasah diniyahnya untuk menyedot potensi dana dari masyarakat.

Bagi madrasah diniyah yang memiliki anggaran pas-pasan mungkin alternatif yang bisa dilakukan adalah harus pandai-pandai mencari donatur luar sehingga tidak melulu mengandalkan uluran tangan dari masyarakatnya sendiri. Dan ini dibutuhkan kreatifitas ekstra serta jaringan sosial yang cukup bagus dan kuat yang harus dilakukan oleh pimpinan madrasah. Jika ada kreatifitas yang tak pernah lelah dan mengenyahkan rasa malu demi membangun madrasah diniyah yang dipimpinnya maka problem anggaran madrasah diniyah yang minimalis akan sedikit tereliminir. ( bersambung ke Tulisan II )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar